Aku duduk di sini dalam kehampaan. Kehampaan yang tiada berujung. Kehampaan yang terus menari-nari di hadapanku dan terus mendekati seluruh jiwa dan ragaku. Ia mengajakku berdansa dan menari menirukan Tarian Saman Sang Rumi dari Anatolia. Tanpa rasa bosan, ia terus mengulurkan tangannya untuk menari bersamanya dan mencapai nirwana kehampaan. Nirwana yang penuh keindahan abstraktif. Keindahan yang hanya ditemukan oleh para resi, syaikh atau brahmana yang telah mencapai mochsa. Nirwana keabadian.
Aku pun akhirnya terlelap dalam desahan nafas tarian dan belaian tangan para penari kehampaan yang terus membelai, meraba, memeluk dan mencium dengan wewangiannya yang khas yang semerbak terbawa angin pilu dari nirwana keabadian. Angin itu terus mendayu-dayu membawa wewangian yang terus-menerus menyebar ke penjuru dunia dan diantar oleh para bidadari nirwana keabadiam. Angin yang menyebarkan kehampaan dunia, bersama keangkuhan, dan kemiskinan hatiku.
Aku hanya bisa menghela dan menarik nafas panjang sekuat tenaga untuk tetap bisa menghirup wangi kehampaan yang perlahan menghilang dari depan hidungku. Aku pun menangis dengan sedu sedan seiring menghilangnya wewangian yang aku puja-puja itu. Tanpa kusadari, aku telah menangis begitu lama begitu parau bagai elegi sang penyair dari negeri 1001 puisi. Menangis tanpa henti melebihi tangisannya Si Majnun yang menangis di pusara Laila. Menangisi semua kehampaan dan kegelisahan yang datang silih berganti.
No comments:
Post a Comment
ini komentar